Perpu No. 2 Tahun 2017 : Langkah Otoriter atau Preventif ?
بسم الله الرحمن الرحيم
Belum lama ini publik sedang panas - panasnya dengan kasus pembubaran salah satu organisasi kemasyarakat (selanjutnya disebut ormas), Hizbut Tahrir Indonesia (yang selanjutnya akan disebut HTI). Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Dalam Negeri mengambil langkah cepat membubarkan ormas tersebut dan menerbitkan Perpu No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang - Undang nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Banyak pihak menuding bahwa langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia adalah bentuk otoriter dan tidak tertib hukum karena tidak melalui proses peradilan.
Berdasarkan pernyataan Bapak Jend. TNI (Purn.) Wiranto selaku Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan tentang pembubaran HTI. Bapak Jend. TNI (Purn.) Wiranto menyatakan bahwa gerakan politik dari HTI mengusung ideologi khilafah. Berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai literatur konsep - konsep khilafah, secara garis besar ideologi khilafah bersifat transnasional. Artinya, berorientasi meniadakan nation state, negara bangsa untuk mendirikan pemerintahan Islam dalam konteks yang lebih luas lagi, sehingga negara menjadi absurd, termasuk Indonesia yang berdasarkan NKRI, UUD 45 menjadi absurd karena Indonesia bukan bagian dari khilafah.
Ada pula yang menjadi dasar Bapak Jend. TNI (Purn.) Wiranto dalam pembubaran ormas HTI antara lain :
Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak menjalankan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI telah mendapat benturan di masyarakat yang dapat keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Apakah benar Perpu No. 2 tahun 2017 menjadi senjata otoriter Pemerintah RI ataukah menjadi senjata preventif ? Berikut adalah hasil kajian terkait Perpu tersebut.
Sudah Benarkah Prosedur Pembubaran HTI ?
Mengacu kepada hukumonline
Terkait penerbitan Perpu No. 2 tahun 2017, Yusril Ihza Mahendra juga menyampaikan bahwa dengan adanya Perpu tersebut pemerintah dapat melontarkan tuduhan sepihak kepada ormas yang menurut mereka anti - Pancasila dan Pemerintah langsung bisa membubarkan ormas tersebut. Menurutnya akan lebih ideal jika pembubaran sebuah ormas ditempuh dengan proses peradilan. (sumber : Kompas)
Cacat atau Sempurna ?
Banyak pihak menuding Perpu No. 2 tahun 2017 merupakan bentuk kecacatan produk hukum dari Pemerintah karena merusak demokrasi di Indonesia. Perpu tersebut juga dikatakan sebagai bentuk otoriter Pemerintah dalam menindak ormas yang anti - Pancasila.
Dilansir dari Kompasiana dan Hukumonline, Pemerintah menerbitkan Perpu tersebut dengan menggunakan asas contrarius actus, asas yang menyatakan bahwa pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya tanpa proses Peradilan. Hal ini merupakan salah satu bentuk kecacatan karena sudah selayaknya pembubaran dan pencabutan badan hukum dilakukan dengan berdasar putusan peradilan terlebih dahulu.
Indonesia Darurat Terorisme dan Radikalisme ?!
Dikutip dari Times Indonesia. Meteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Mendagri), Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa Indonesia sedang berada dikondisi darurat Terorisme. Mendagri juga menghimbau ke semua pihak untuk mencegah segala bentuk gerakan radikal yang berpotensi menimbulkan teror. Ia juga menyatakan bahwa pergerakan ISIS di Indonesia terlampau cepat.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Panglima TNI, Jendral Gatot Nurmantyo bahwa Indonesia sekarang sedang Darurat Terorisme. Oleh karena itu, TNI diminta untuk turut serta memberantas gerakan Terorisme di Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan ketiga pembahasan di atas, penulis berkesimpulan antara lain :
Pertama, Perpu No. 2 tahun 2017 masih belum layak untuk dijadikan Undang - Undang karena masih banyak kecacatan pada tiap pasalnya. Hal ini juga dapat merusak demokrasi dan keadilan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, penulis berharap Perpu No. 2 tahun 2017 ditinjau kembali dan direvisi agar tidak merusak keadilan dan demokrasi di Indonesia.
Kedua, terkait penerbitan Perpu No. 2 tahun 2017, penulis merasa Pemerintah terlalu tergesa - gesa dalam hal penindakan ormas yang anti - Pancasila dan dianggap menyebarkan radikalisme. Tapi hal ini juga merupakan langkah preventif Pemerintah dikarenakan isu Darurat Terorisme dan Radikalisme yang sering terjadi di Indonesia dan mulai bermunculan organisasi - organisasi Teroris seperti ISIS di Indonesia. Menurut penulis, hal ini patut diapresiasi karena berarti Pemerintah mengambil langkah cepat - tanggap dalam menindak gerakan Radikalisme dan Terorisme.
Ketiga, pembubaran HTI penulis rasa tidak tertib hukum. Hal ini dikarenakan seharusnya Pemerintah menempuh jalur peradilan terlebih dahulu, Setelah ada keputusan dari Pengadilan, maka Pemerintah baru bisa mencabut Badan Hukum dari suatu ormas.
Berdasarkan ketiga statement yang penulis lontarkan, penulis menganggap Perpu No. 2 tahun 2017 bukan merupakan langkah Pemerintah untuk otoriter tapi lebih ke langkah preventif atau pencegahan agar tidak terjadi gerakan - gerakan yang dapat mengganggu stabilitas nasional dikarenakan isu Radikalisme dan Terorisme yang sekarang banyak terjadi tak hanya di daerah Ibukota.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pembaca, saya harap pembaca dapat berkomentar dengan tertib sesuai dengan Dasar Hukum yang telah diatur dalam Blog ini. Penulis memohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam penulisan artikel ini. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada teman - teman yang sudah mendukung saya selama pembuatan Blog ini.
Minister of State and Institutional Policy
ttd
Aditya Hermawan
Berdasarkan pernyataan Bapak Jend. TNI (Purn.) Wiranto selaku Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan tentang pembubaran HTI. Bapak Jend. TNI (Purn.) Wiranto menyatakan bahwa gerakan politik dari HTI mengusung ideologi khilafah. Berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai literatur konsep - konsep khilafah, secara garis besar ideologi khilafah bersifat transnasional. Artinya, berorientasi meniadakan nation state, negara bangsa untuk mendirikan pemerintahan Islam dalam konteks yang lebih luas lagi, sehingga negara menjadi absurd, termasuk Indonesia yang berdasarkan NKRI, UUD 45 menjadi absurd karena Indonesia bukan bagian dari khilafah.
Ada pula yang menjadi dasar Bapak Jend. TNI (Purn.) Wiranto dalam pembubaran ormas HTI antara lain :
Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak menjalankan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI telah mendapat benturan di masyarakat yang dapat keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Apakah benar Perpu No. 2 tahun 2017 menjadi senjata otoriter Pemerintah RI ataukah menjadi senjata preventif ? Berikut adalah hasil kajian terkait Perpu tersebut.
Sudah Benarkah Prosedur Pembubaran HTI ?
Mengacu kepada hukumonline
Dari intisari di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Pemerintah Republik Indonesia belum menempuh jalur hukum yang benar dan sesuai prosedur. Karena dengan diterbitkan Perpu No. 2 tahun 2017, berarti Pemerintah dapat secara langsung membubarkan sebuah Organisasi Kemasyarakatan tanpa melalui proses peradilan dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menurut saya hal ini akan menjadi kecacatan dalam keadilan dan demokrasi di Indonesia.Pembubaran Ormas ini terkait dengan sanksi administratif pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum Ormas. Sanksi administratif pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum Ormas merupakan sanksi yang dijatuhkan setelah Ormas tidak mematuhi/mengindahkan sanksi-sanksi administratif sebelumnya.Untuk dapat melakukan pencabutan tersebut, harus terlebih dahulu ada putusan pembubaran Ormas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Pembubaran Ormas berbadan hukum diawali dengan Kejaksaan yang mengajukan permohonan ke pengadilan negeri atas permintaan tertulis dari Menteri Hukum dan HAM. Permohonan tersebut disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah terhadap Ormas.Permohonan pembubaran Ormas harus diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal permohonan dicatat.Setelah putusan mengenai pembubaran Ormas telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum kepada Ormas tersebut.
Terkait penerbitan Perpu No. 2 tahun 2017, Yusril Ihza Mahendra juga menyampaikan bahwa dengan adanya Perpu tersebut pemerintah dapat melontarkan tuduhan sepihak kepada ormas yang menurut mereka anti - Pancasila dan Pemerintah langsung bisa membubarkan ormas tersebut. Menurutnya akan lebih ideal jika pembubaran sebuah ormas ditempuh dengan proses peradilan. (sumber : Kompas)
Cacat atau Sempurna ?
Banyak pihak menuding Perpu No. 2 tahun 2017 merupakan bentuk kecacatan produk hukum dari Pemerintah karena merusak demokrasi di Indonesia. Perpu tersebut juga dikatakan sebagai bentuk otoriter Pemerintah dalam menindak ormas yang anti - Pancasila.
Dilansir dari Kompasiana dan Hukumonline, Pemerintah menerbitkan Perpu tersebut dengan menggunakan asas contrarius actus, asas yang menyatakan bahwa pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya tanpa proses Peradilan. Hal ini merupakan salah satu bentuk kecacatan karena sudah selayaknya pembubaran dan pencabutan badan hukum dilakukan dengan berdasar putusan peradilan terlebih dahulu.
Indonesia Darurat Terorisme dan Radikalisme ?!
Dikutip dari Times Indonesia. Meteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Mendagri), Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa Indonesia sedang berada dikondisi darurat Terorisme. Mendagri juga menghimbau ke semua pihak untuk mencegah segala bentuk gerakan radikal yang berpotensi menimbulkan teror. Ia juga menyatakan bahwa pergerakan ISIS di Indonesia terlampau cepat.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Panglima TNI, Jendral Gatot Nurmantyo bahwa Indonesia sekarang sedang Darurat Terorisme. Oleh karena itu, TNI diminta untuk turut serta memberantas gerakan Terorisme di Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan ketiga pembahasan di atas, penulis berkesimpulan antara lain :
Pertama, Perpu No. 2 tahun 2017 masih belum layak untuk dijadikan Undang - Undang karena masih banyak kecacatan pada tiap pasalnya. Hal ini juga dapat merusak demokrasi dan keadilan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, penulis berharap Perpu No. 2 tahun 2017 ditinjau kembali dan direvisi agar tidak merusak keadilan dan demokrasi di Indonesia.
Kedua, terkait penerbitan Perpu No. 2 tahun 2017, penulis merasa Pemerintah terlalu tergesa - gesa dalam hal penindakan ormas yang anti - Pancasila dan dianggap menyebarkan radikalisme. Tapi hal ini juga merupakan langkah preventif Pemerintah dikarenakan isu Darurat Terorisme dan Radikalisme yang sering terjadi di Indonesia dan mulai bermunculan organisasi - organisasi Teroris seperti ISIS di Indonesia. Menurut penulis, hal ini patut diapresiasi karena berarti Pemerintah mengambil langkah cepat - tanggap dalam menindak gerakan Radikalisme dan Terorisme.
Ketiga, pembubaran HTI penulis rasa tidak tertib hukum. Hal ini dikarenakan seharusnya Pemerintah menempuh jalur peradilan terlebih dahulu, Setelah ada keputusan dari Pengadilan, maka Pemerintah baru bisa mencabut Badan Hukum dari suatu ormas.
Berdasarkan ketiga statement yang penulis lontarkan, penulis menganggap Perpu No. 2 tahun 2017 bukan merupakan langkah Pemerintah untuk otoriter tapi lebih ke langkah preventif atau pencegahan agar tidak terjadi gerakan - gerakan yang dapat mengganggu stabilitas nasional dikarenakan isu Radikalisme dan Terorisme yang sekarang banyak terjadi tak hanya di daerah Ibukota.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pembaca, saya harap pembaca dapat berkomentar dengan tertib sesuai dengan Dasar Hukum yang telah diatur dalam Blog ini. Penulis memohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam penulisan artikel ini. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada teman - teman yang sudah mendukung saya selama pembuatan Blog ini.
Minister of State and Institutional Policy
ttd
Aditya Hermawan
Comments
Post a Comment